Pelajaran Dari Seorang Pejuang Tua |
Aku tersenyum saja, hanya bisa tersenyum dan mengiyakan.
Seorang tua duduk di kursi tua berkata, “Dan di bawah jendela halaman rumah ini, berkilauan cahaya kehijauan seperti permadani. Kelompok bunga bermekaran. Kecipak ikan semarak di kolam. Kepak kupu-kupu mendebarkan dada.
Aku tersenyum saja, hanya bisa tersenyum dan mengiyakan.
Seorang tua duduk di kursi tua berkata, “Oh, malam itu indah sekali, langit kesumba namun rawan menakutkan. Jari-jariku bergetar menyentuh pelatuk senapan tua. Dadaku meruang altar doa. Berdetak dan kebas mengucap segala doa dan duka merupa. Setiap kata mengetuk janji suci pada negeri, juga perjuangan diri.”
Aku tersenyum saja, hanya bisa tersenyum dan mengiyakan.
Seorang tua duduk di kursi tua mulai berteriak, “Aku terbangun dalam kesakitan; wajah-wajah luka ada di semua mata. Datang berkerumun ribuan gugur bunga. Katanya mati satu tumbuh seribu. Tapi udara penuh bau darah dan mesiu, menuntut mati satu tumbuh beribu-ribu.”
Aku tersenyum saja, hanya bisa tersenyum dan mengiyakan.
Seorang tua duduk di kursi tua mulai berteriak teramat kencang, “Aku tahu yang aku dengar, kita merdeka! Indonesia telah merdeka! Gema bahagia membilas duka buritan masa. Oh, merdeka milik siapa? Milik kalian semua. Tapi aku juga akan kibarkan benderaku di dalam hati—bendera hati tinggi-tinggi. Kemerdekaanku sendiri—merdeka sendiri sampai mati.”
Aku tersenyum saja, hanya bisa tersenyum dan mengiyakan.
Seorang tua yang duduk di kursi tua tersenyum dan berbisik lirih, “Lihat, lihat itu, bendera yang berkibar di halaman rumah ini berusia 77 tahun,” jari tuanya menunjuk ke luar jendela melewatiku.
Aku tersenyum saja, hanya bisa tersenyum.
Kedua mata pejuang tua itu buta sejak 77 tahun yang lalu, ketika sebuah granat meledak di dekatnya.
Dalam apa yang telah dikatakannya, aku belajar perihal negeri ini. Jauh lebih banyak, dari semua yang aku dapat sejak masa kanak-kanak.
Mahesa Jenar / Yogya, 16 Agustus 2022
Posting Komentar untuk "Pelajaran Dari Seorang Pejuang Tua"