Kisah Pengalaman Komunitas Moshing Skena Musik Underground

Sekelompok pemuda, mulai dari yang berusia remaja tanggung hingga abang-abang sekitar 20-an tahun tengah berkumpul di sebuah art space di kawasan Cibinong, pada sore hari November 2022.


Kabaran Band, - Sekelompok pemuda, mulai dari yang berusia remaja tanggung hingga abang-abang sekitar 20-an tahun tengah berkumpul di sebuah art space di kawasan Cibinong, pada sore hari November 2022.

Dari pakaian mereka yang banyak merupakan merchandise band, mereka tampak mengidentifikasi diri sebagai pegiat skena musik bawah tanah hardcore dan punk di kawasan yang masuk Kabupaten Bogor tersebut dan sekitarnya.

Meski banyak dari mereka yang berusia remaja tanggung, bahkan masih terlihat duduk di usia bangku sekolah, mereka sudah sering hilir mudik di berbagai gig dengan moshing menjadi bagian di dalamnya.

Sore itu, mereka pun masih terlihat malu-malu dan polos. Jauh berkebalikan saat sudah ber-moshing-ria di mosh pit. Perlahan, satu per satu remaja ini mengisahkan pengalaman mereka menjadi bagian dalam komunitas moshing skena musik underground. 

"Pertamanya itu 2018 awal mula gue nonton gig langsung. Tapi dari kecil emang sudah sering dengerin musik punk dari abang-abang gue," kata Ridwan yang berusia 18 tahun dan memulai moshing pada usia 14 tahun.

"Pertamanya itu gue enggak berani moshing, takut. Sekadar ngeliatin orang moshing, tapi terus akhirnya penasaran, 'Bagaimana sih rasanya masuk ke dalam lingkaran itu?," lanjutnya.

Sementara itu, Abduh yang berusia 16 tahun, mengaku tertarik dengan punk dan hardcore bahkan sejak masih duduk di Sekolah Dasar (SD). Pertama kali datang gig pada 2019, Abduh juga awalnya malu-malu dan mengamati terlebih dahulu.

"Nah pas datang hadir nonton band favorit saya, Outstep, itu saya langsung turun," ujar Abduh malu-malu.

Para remaja tanggung ini bukan hanya sekadar kumpulan anak muda yang gemar moshing dan musik bawah tanah. Mereka adalah 'penerus' para seniornya yang juga ikut andil mengenalkan skena musik bawah tanah.

Adipati, vokalis sebuah band punk kawakan Bogor adalah salah satu dari senior tersebut. Namun Adipati bukan hanya mengenalkan, ia juga ikut mengayomi junior-junior mereka untuk membentuk komunitas yang inklusif dan jauh dari stigma negatif.

Meski begitu, Adipati dan kawan-kawan sebayanya seperti Farel (23), Egy (24), dan Arief (26), juga menekankan betapa pentingnya bagi 'adik-adik' mereka untuk menjadi diri sendiri.

"Belakangan ini mereka sering muncul di gig-gig kecil atau street gig punk. Terakhir gue urus tur band luar kota, bahkan ada beberapa remaja hijaber juga pada moshing koprol begitu," kata Adipati.

Misi menjadikan komunitas underground yang inklusif bagi mereka adalah termasuk memberikan ruang yang nyaman bagi penggemar perempuan.

Arief yang sudah mengenal musik punk sejak belia menyadari bahwa perempuan kerap dirundung dengan rasa tidak nyaman ketika menghadiri pertunjukan musik bawah tanah.

"Di setiap acara, untuk meminimalisir pelecehan seksual, kami selalu mengkampanyekan agar menjaga kaum perempuan, sehingga teman-teman kami yang cewek juga bisa lebih nyaman untuk masuk ke mosh pit," kata Arief.

"Intinya kami enggak mau zaman-zaman ngawur di era kami kecil dulu itu terulang lagi, saat gig-gig punk ada sexy dancer hanya untuk menarik massa. Dan saat itu, umum banget terjadi pelecehan seksual tanpa ada yang berani berbicara," timpal Farel.

"Menurut gue, yang harus dibenahi itu pola pikir laki-laki. Kita sebagai dewasa yang berpola pikir normal dan sudah mengerti, harus menanamkan pola pikir kalau pelecehan seksual itu enggak keren," timpal Egy.

"Karena masih banyak, oknum-oknum di sini yang beranggapan kalau pelecehan seksual itu keren. Mereka harus dibikin malu, diasingkan, dan disanksi sosial sih intinya," lanjutnya.

Meski bercita-cita bisa menjadi komunitas underground yang inklusif dan jauh dari "zaman ngawur" dulu kala, para pegiat komunitas bawah tanah ini masih mengalami masalah klasik di mosh pit: paparan alkohol.

Sejumlah anak yang di bawah usia 21 tahun pun mengaku mereka mudah mendapatkan akses minuman alkohol di sela kegiatan mereka berekspresi tersebut.

"Kalau enggak ada alkohol ya kerasa atuh, namanya moshing kan pasti kesikut sana kesikut sini, biar enjoy juga," ungkap salah satu anak berusia 16 tahun.

Adipati pun mengakui bahwa paparan alkohol ini jadi persoalan rumit yang kerap terjadi di lapisan akar rumput, bukan cuma skena bawah tanah seperti mereka, melainkan di segala lapis masyarakat.

"Batasan gue sebatas menjelaskan risiko-risiko seperti apa, kayak misal konsumsi alkohol berlebihan itu bisa bahaya untuk lambung atau usus. Gue menjelaskan itu karena berkaca dari pengalaman pribadi," kata Adipati.

"Lo enggak bisa sekonyong-konyong datang dengan membawa moral compass lo ke kalangan yang serba tertinggal ini," kata Adipati.

"Kita enggak bisa menyamakan kapasitas dan pemikiran kita dengan realitas yang terjadi di akar rumput ini,"

"Kan enggak mungkin gue tahu-tahu ke kampung mereka terus bilang melarang ini itu, ya gue enggak mau cari mati lah," lanjutnya berkelakar.

Terkait masalah ruwet ini, sosiolog dan peneliti punk UIN Syarif Hidayatullah, Fathun Karib, menyatakan bahwa memang sudah sepatutnya para senior di komunitas itu memiliki kendali penuh atas pembatasan paparan tersebut.

"Di salah satu bar di Amerika, anak di bawah umur bisa ikut nonton di bar, tapi tangan mereka di tulis tanda X," jelas Karib, dalam kesempatan terpisah.

"Ini awal mula X dipakai menjadi simbol straight edge. Sederhana dan jadi gerakan. Kesadaran ini yang perlu ditumbuhkan untuk menjaga tunas baru di komunitas," imbuhnya.

Namun ide itu ditanggapi pesimis oleh Egy. Ia tak yakin pola serupa dapat diterapkan di skena bawah tanah yang ia geluti, meski penganut straight edge (menolak rokok, alkohol, narkoba, dan seks bebas) di kalangannya mulai bermunculan.

"Anak sini mah sekarang pada pintar mau dibikin aturan bagaimana juga," cerita Egy mengenai kondisi yang terjadi di Kabupaten Bogor. 

"Tapi yang kami tekankan selalu ini, kalau bocah-bocah itu maksa anak-anak straight edge untuk mencoba minum, kami akan tindak tegas pasti,"

Sementara itu, Adipati sepakat dengan Karib soal peran senior untuk 'melindungi' para tunas muda skena ini dari hal yang negatif. Namun menurutnya, proses transfer edukasi dan informasi perlu dilakukan dengan pendekatan yang ramah dan sesuai dengan keseharian mereka.

"Intinya kalau bertanggung jawab, kita yang senior sebisa mungkin menyempatkan kalau mereka ada masalah, seperti sakit, kecelakaan, berantem, urusan sama berwajib begitu-begitu pasti akan kami kawal." kata Adipati.

Baca Juga: Promosikan produk agar laris manis dengan menggunakan website sebagai media promosi.


Sumber: CNN Indonesia

Posting Komentar untuk "Kisah Pengalaman Komunitas Moshing Skena Musik Underground"

https://jabar.kabaran.id/?m=1
https://jabar.kabaran.id/?m=1