TfY7GUziTSC9BSGpTSOoBUz7TY==
Light Dark
Senjakala Pers: Ketika Pilar Demokrasi Mulai Runtuh

Senjakala Pers: Ketika Pilar Demokrasi Mulai Runtuh

Senjakala Pers: Ketika Pilar Demokrasi Mulai Runtuh
Daftar Isi
×
Kabaran Jabar, - Apakah kita sedang menyaksikan detik-detik akhir kejayaan pers Indonesia? Pertanyaan ini bukan sekadar kegelisahan intelektual, melainkan jeritan sunyi dari ruang redaksi yang perlahan meredup terutama media lokal yang kini terombang-ambing dalam badai disrupsi dan pengabaian sistematis oleh negara.

Pers yang Ditinggalkan: Dari Pilar Demokrasi Jadi Sisa-Sisa Harapan


UU No. 40 Tahun 1999 pernah memberi harapan bahwa pers akan menjadi penjaga demokrasi, mata dan telinga publik, sekaligus penyeimbang kekuasaan. Tapi apa jadinya jika pilar itu kini rapuh, nyaris patah?

Banyak media, terutama di daerah, tak lagi punya daya. Minim SDM, manajemen lemah, dan bergantung pada anggaran publikasi pemerintah membuat mereka hidup seperti pasien ICU: bergantung pada selang oksigen, menunggu keajaiban.

Pemerintah Mundur, Ekosistem Pers Ambruk


Negara semestinya hadir sebagai penjaga kebebasan pers. Tapi kenyataannya, kebijakan publik justru menjauh dari semangat itu. Pemangkasan anggaran media, atas nama efisiensi, membuat ratusan media lokal megap-megap. Dana publikasi beralih ke media sosial platform global tanpa akuntabilitas, tanpa etika jurnalistik, dan tanpa kewajiban hukum.

Dampaknya bukan hanya pada mati surinya media lokal, tetapi juga bocornya kedaulatan informasi kita ke tangan algoritma asing. Negara membiarkan uang rakyat mengalir ke luar negeri, memperkaya korporasi digital, sembari membiarkan jurnalisme lokal sekarat.

Kreator Konten Naik, Wartawan Terbuang


Setiap orang kini bisa menjadi "penyampai informasi", tapi tidak semua mampu mengemban tanggung jawab informasi. Media sosial memberi panggung bagi siapa pun, tapi tanpa etika jurnalistik, tanpa verifikasi, tanpa tanggung jawab.

Sementara itu, media profesional dipinggirkan. Pejabat publik lebih sibuk membangun persona di TikTok dan Instagram daripada membuka ruang dialog di media massa. Wartawan kehilangan pekerjaan, media ditutup satu per satu. Tapi siapa yang peduli?

Di Mana Negara Saat Wartawan Terluka?


PHK massal menjadi ironi dalam industri yang seharusnya jadi penjaga demokrasi. Namun tak ada jaminan keberlanjutan, tak ada subsidi, bahkan tak ada empati dari negara.

Dewan Pers pun seperti ditinggal berjuang sendirian. Tanpa anggaran, tanpa otoritas, dan tanpa tangan yang mampu menjangkau pelosok. Sementara persoalan terus menumpuk. Haruskah kita membiarkan ini jadi tanggung jawab segelintir orang?

Jurnalisme Adalah Urusan Kita Semua


Pers bukan hanya tentang berita, bukan semata profesi. Ini tentang akses warga terhadap kebenaran. Tentang kebebasan untuk tahu. Tentang ruang publik yang sehat.

Jika kita membiarkan jurnalisme mati, kita sedang membuka pintu bagi tirani informasi, dominasi hoaks, dan kekuasaan yang tak terpantau.

Sebelum Terlambat: Selamatkan Pers Sekarang


Negara harus berpihak. Bukan untuk mengatur dan menekan, melainkan untuk memfasilitasi lahirnya ekosistem pers yang kuat dan mandiri. Memberi insentif bagi media yang bermutu. Melindungi wartawan dari tekanan. Membuka ruang informasi yang adil bagi rakyat.

Kemerdekaan pers bukan milik jurnalis semata. Itu hak kita semua. Hak untuk tidak dibohongi. Hak untuk tahu yang benar.

Jika hari ini kita diam, esok lusa kita akan kehilangan suara-suara terakhir yang berani berkata jujur.

Oleh: Sony Fitrah Perizal
Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Provinsi Jawa Barat
Senjakala Pers: Ketika Pilar Demokrasi Mulai Runtuh


Ikuti saluran Kabaran Jabar Portal Informasi di WhatsApp:

0Komentar

https://jabar.kabaran.id/p/bergabunglah-peluang-karier-di-dunia.html
Pasang Iklan Disini: 0878-5243-1990
Seedbacklink