Kabaran Jabar, - Kematian Ulfa Yulia Lestari di RSUD Cibabat Kota Cimahi menggemparkan publik. Namun lebih dari sekadar kabar duka, peristiwa ini menjadi cermin retak dari wajah layanan kesehatan publik kita retak oleh birokrasi lamban, empati yang aus, dan diskriminasi sistemik terhadap pasien BPJS.
Fajar Budhi Wibowo, Koordinator Umum LSM KOMPAS (Koordinat Masyarakat Pejuang Aspirasi), menyebut kasus ini sebagai "alarm keras atas kegagalan tata kelola layanan kesehatan", bukan sekadar insiden medis. Tragedi Ulfa adalah potret kegagalan struktural yang selama ini tersembunyi di balik tumpukan prosedur.
“Jika prosedur lebih penting dari nyawa, maka kita telah kehilangan arah dalam bernegara,” tegas Fajar.
Jejak Malapraktik Kebijakan dan Sinyal Disfungsi
LSM KOMPAS mencatat berbagai laporan masyarakat soal pelayanan RSUD Cibabat, dari lambannya respons terhadap pasien darurat hingga buruknya sikap petugas. Sistem digital BPJS yang kerap eror memperparah keadaan.
Kritik bahkan datang dari Ketua DPRD Kota Cimahi, Wahyu Widyatmoko, yang mengakui adanya “isu-isu miring” yang terus berulang di rumah sakit daerah tersebut.
Ironisnya, menurut Direktur RSUD Cibabat, Sukwanto Gamalyono, anggaran obat-obatan hanya Rp40 miliar. Jumlah ini kontras dengan besarnya klaim BPJS di Cimahi yang bisa menembus angka Rp1 triliun, menurut pernyataan Wali Kota Ngatiyana.
Diskriminasi Pasien BPJS dan Krisis Legitimasi Negara
"Mentang-mentang istri saya pakai BPJS, pelayanannya beda," ungkap Nandang Rusmana, Suami korban kalimat yang mengguncang ruang publik.
Pernyataan ini seolah menjadi gema dari suara ribuan rakyat kecil yang merasakan disparitas perlakuan di rumah sakit negeri. Pelayanan yang timpang ini melanggar UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 dan UU SJSN No. 40 Tahun 2004, yang menjamin kesetaraan hak tanpa diskriminasi.
LSM KOMPAS mewanti-wanti, jika diskriminasi ini terus dibiarkan, maka konsekuensinya adalah menurunnya partisipasi JKN, membengkaknya pasien di RS swasta, dan merosotnya kepercayaan terhadap rumah sakit milik pemerintah.
Reaksi Terlambat, Bukan Pencegahan
Langkah Wali Kota Cimahi yang melakukan inspeksi mendadak pasca-viral tragedi Ulfa dinilai hanya reaktif. Begitu pula DPRD yang baru akan memanggil manajemen RSUD setelah tekanan publik menguat.
LSM KOMPAS menegaskan bahwa manajemen RSUD tidak memiliki sistem alert dan audit mutu berkelanjutan, yang seharusnya menjadi bagian dari standar WHO dan KARS. Ini membuktikan bahwa pemerintah daerah hanya memadamkan api, bukan mencegah kebakaran.
Desakan Investigasi, Audit Total, dan Reformasi Sistemik
Fajar Budhi Wibowo mengumumkan rencana resmi LSM KOMPAS untuk:
Mengirim surat kepada Ombudsman RI guna mengusut dugaan maladministrasi dan diskriminasi di RSUD Cibabat.
Mendorong pembentukan Tim Pemantau Independen yang melibatkan Kemenkes, BPJS Kesehatan, dan Dinas Kesehatan Jawa Barat.
Melakukan kajian anggaran kesehatan Cimahi tahun 2023–2025.
Mendesak audit menyeluruh terhadap seluruh kematian pasien BPJS sejak 2020 di RSUD Cibabat.
Memperbarui protokol darurat dan membangun sistem pelaporan digital berbasis AI untuk keluhan masyarakat.
Nyawa Terlalu Mahal untuk Dikorbankan
Tragedi Ulfa adalah luka bersama. Ia tidak boleh dikubur sebagai angka statistik atau sekadar headline media. Ini adalah momentum bagi publik untuk menagih pertanggungjawaban moral dan struktural dari pemerintah.
RSUD Cibabat kini berdiri di persimpangan: menjadi titik balik reformasi layanan kesehatan atau terus menjadi simbol dari kegagalan negara dalam menjaga hak dasar warganya.
"Pelayanan kesehatan bukan sekadar urusan administrasi, melainkan soal keberpihakan kepada nyawa dan martabat manusia." (Bd20)
Fajar Budhi Wibowo, Koordinator Umum LSM KOMPAS. Kontak: 0857-9586-1888
Ikuti saluran Kabaran Jabar Portal Informasi di WhatsApp:
0Komentar