Ini Kata Pentolan aktivis 98 Pada Waketum Partai Gelora, Tajam! / Photo jpnn |
Jakarta, Kabaran Jabar - Kicauan politikus Partai Gelora Fahri Hamzah lewat akun Twitternya, 7 Mei lalu, berbuntut panjang.
Pentolan aktivis 98 Adian Napitupulu bereaksi keras menanggapi kicauan tersebut.
Fahri lewat akun Twitter @fahrihamzah sebelumnya membuat kicuan dengan judul ‘Pesan Pada Generasi ku’.
Dia kemudian mengingatkan enam hal. Yakni, jangan membiarkan kebebasan terancam, jangan membiarkan rakyat sakit dan menderita, jangan membiarkan penguasa menganiaya.
Kemudian, jangan membiarkan pengusaha mengatur negara, jangan menjadi corong penguasa dan mengingatkan untuk melindungi serta membantu para mahasiswa dan oposisi.
Fahri dalam kicauannya menyertakan foto dua pentolan aktivis’98 Adian Napitupulu dan Budiman Sudjatmiko.
Menanggapi hal tersebut, Adian terlebih dahulu mengucapkan terima kasih kepada Fahri Hamzah.
“Saya tidak tahu pesan itu untuk semua yang satu generasi atau hanya untuk saya dan Budiman saja. Karena foto yang ada dalam twitnya itu hanya foto saya dan Budiman, bukan foto orang banyak,” ujar Adian dalam keterangannya, Kamis (12/5/2022).
Sekjen Pena’98 ini merasa pesan yang disampaikan Fahri seakan mempertanyakan komitmen perjuangan, komitmen kerakyatan dirinya dan Budiman, setelah 24 tahun reformasi.
“Jika demikian, izinkan saya menjawab itu dengan sedikit berbagi cerita pada Fahri. Saya ingat ketika saya dan kawan kawan tersisa yang masih di jalan tahun 1999, Fahri sudah menjadi staff ahli di MPR,” ujar Adian.
Fahri kemudian dilantik menjadi anggota DPR pada 2004, sementara Adian dan sejumlah akivis’98 lainnya masih dalam tekanan, bahkan ada beberapa yang ditangkap.
“Kantor Pengacara saya di police line pada 2008. Saya dikejar hingga menjadi gelandangan, berkeliling dari kota ke kota lalu menjadi pengumpul trolly di berbagai pusat perbelanjaan negara orang. Saya juga dipukuli hingga babak belur oleh belasan polisi di pengadilan Jakarta Pusat pada 2010,” ucapnya.
Menurut Adian, dirinya dan Fahri ketika itu beda pilihan, beda jalan. Adian memilih jalan yang sulit, menyakitkan dan tidak menyenangkan.
Meski demikian, dia tidak pernah usil mengkritik dan mempertanyakan pilihan politik masing masing orang, termasuk mengkritik Fahri yang saat itu sedang menikmati kursi sebagai anggota DPR RI.
“DPR memutuskan penyidikan kasus Trisakti dan Semanggi tidak diteruskan pada 13 Maret 2007. Saat itu, Fahri yang mengaku aktivis 98 sudah menjadi anggota DPR dan berada di Komisi III, komisi terkait Hukum dan HAM,” katanya.
Adian secara jujur mengaku kecewa dengan sikap Fahri ketika itu, tetapi tak ingin menghakimi Fahri Hamzah. Meski sebagai pimpinan Komisi III, Fahri bisa berusaha melawan penghentian penyidikan tersebut.
“Saya baru terpilih menjadi anggota DPR pada 2014, sementara Fahri terpilih kembali untuk yang ketiga kalinya. Saat menuju pemilihan pimpinan DPR, Fahri bersama sebagian anggota DPR mengubah UU MD 3 agar partai pendukung calon presiden yang kalah bisa menguasai seluruh pimpinan DPR saat itu,” katanya.
Politikus PDI Perjuangan ini menyebut upaya tersebut berhasil dan membuat Fahri menjadi salah satu pimpinan DPR.
“Sekali lagi saya kecewa, bagaimana mungkin Fahri yang mengaku aktivis 98 bisa menggunakan cara-cara yang bagi saya tidak mencerminkan cara berdemokrasi yang sehat, dewasa dan sportif. Untuk kesekian kalinya saya mengelus dada melihat realitas politik di DPR,” katanya.
Adian lebih lanjut mengatakan Fahri pada Agustus 2015 menyebut ‘anggota DPR rada rada bloon’. Menurut Adian, pernyataan itu bukan saja menghina para anggota DPR, tetapi juga menghina partai yang menyeleksi calon, bahkan lebih jauh menghina rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang memilih nama-nama anggota dewan di bilik suara.
“Kembali saya kecewa pada Fahri yang mencela proses Demokrasi yang sudah memberi dia kesempatan menjadi anggota DPR tiga periode. Aneh, bagaimana mungkin ada orang yang bisa mencaci maki prosesnya, tetapi hasil dari proses itu justru dinikmati belasan tahun.”
“Selanjutnya, saya tidak bicara tentang kerja formal DPR yaitu membuat undang-undang, menyusun dan menetapkan anggaran negara lalu mengawasi eksekutif terkait pelaksanaan undang-undang dan penggunaan anggaran itu,” katanya.
Adian menyatakan ingin menyampaikan ke Fahri, bahwa sumpah jabatan DPR juga memperjuangkan aspirasi rakyat dan aspirasi tersebut tidak diperjuangkan sekadar dalam kalimat undang-undang maupun angka dalam APBN.
Melainkan menggunakan kewenangan dan jejaring politik anggota DPR untuk melakukan pembelaan terhadap rakyat yang dianiaya dan mengalami ketidakadilan.
“Dalam hal perjuangan kerakyatan itu, boleh kah saya bertanya dimana Fahri ketika saya dan rakyat sejak 2015 memperjuangkan agar berhektare tanah Cendana di kabupaten Bogor bisa dibagikan menjadi milik Rakyat?”
“Dimana Fahri ketika saya dan sebagian rakyat Bogor, Cianjur, Sumedang, Bandung, Majalengka dan Cirebon hingga Semarang, memperjuangkan hak atas tanah mereka yang dilintasi jalur Sutet?”
“Boleh kah saya bertanya pada Fahri, dimana dia saat saya dan Dani Amrul Ichdan (Direksi Mind Id) bersama masyarakat Pongkor berjuang sesuai harapan Presiden Jokowi agar ribuan rakyat bisa membentuk koperasi tambang dan menambang emas di lahan Antam di Pongkor,” tutur Adian.
Adian juga mempertanyakan dimana keberadaan Fahri, saat dirinya dan masyarakat Konawe Utara memperjuangkan 400 hektare lahan Antam agar bisa dikelola oleh perusahaan daerah kabupaten Konawe Utara.
“Di mana Fahri ketika saya memperjuangkan 170-an masyarakat Seram Bagian Barat yang telah lulus CPNS selama sepuluh tahun tetapi tidak pernah diangkat sebagai ASN?”
“Oh ya, Fahri, walau tidak memuaskan 100 persen dan dengan segala kekurangannya, tetapi lima masalah itu saat ini sudah dimenangkan rakyat,” ucap Adian.
Adian bertanya, kenapa Fahri tidak ada bersama dirinya saat menjenguk ribuan aktivis dan mahasiswa untuk memastikan tidak ada kekerasan dalam pemeriksaan terhadap mereka yang ditahan di Polda Metro Jaya pada Oktober 2020 karena menolak UU Cipta kerja.
“Ke mana Fahri ketika saya dan beberapa alumni Trisakti, di antaranya Maman Abdurachman, Hendro dan Iwan berjuang meyakinkan banyak orang untuk membantu rumah dan modal kerja pada empat keluarga korban Trisakti?”
“Kenapa justru yang menyiapkan empat rumah untuk keluarga korban penembakan Trisakti bukan Fahri yang konon aktivis 98, tetapi Erick Thohir yang mungkin tidak ada di jalan pada 1998?””Kenapa yang membantu modal kerja senilai Rp 750 juta per keluarga bukan Fahri, tetapi Agus Gumiwang yang mungkin juga tidak berjuang bersama mahasiswa Trisakti yang ditembak mati 24 tahun lalu.”
“Di mana Fahri saat ratusan pekerja taman dan kebersihan DPR gajinya tidak dibayar hingga sehari sebelum Idulfitri? Bukankah saat itu, 2017, Fahri salah satu pimpinan DPR,” ujar Adian.
Dia mempertanyakan kenapa sebagai pimpinan DPR, Fahri membiarkan ratusan pekerja taman dan kebersihan DPR tidak digaji hingga sehari sebelum Idulfitri.
“Ketika itu saya seharian berkeliling meminjam uang sana sini dan mengagunkan BPKB agar gaji ratusan pekerja itu bisa dibayar DPR sehari jelang Hari Raya Idulfitri.”
“Saya tidak melihat Fahri menemani saya saat beradu otot leher di kesekjenan DPR agar gaji Pamdal DPR tidak dipotong Rp 500 ribu perbulan untuk sertifikasi pengamanan.”
“Apakah Fahri sebagai pimpinan DPR tidak tahu kalau upah Pamdal dipotong Rp 500 ribu, sama saja mengubur mimpi sekolah anak anak Pamdal itu? Bukankah sebagai pimpinan DPR Fahri bisa mencegah pemotongan itu?”
Adian juga mempertanyakan keberadaan Fahri pada 2014, ketika dirinya harus ke Lembaga Pemasyarakatan Sulawesi Tengah lalu kembali ke Jakarta untuk meyakinkan Presiden Jokowi agar membebaskan Eva Susanti Bande.
Adian juga mempertanyakan keberadaan Fahri pada 2014, ketika dirinya harus ke Lembaga Pemasyarakatan Sulawesi Tengah lalu kembali ke Jakarta untuk meyakinkan Presiden Jokowi agar membebaskan Eva Susanti Bande.
Eva merupakan salah satu aktivis 98 yang pada 2013 divonis empat tahun penjara karena memperjuangkan petani sawit di Sulawesi Tengah.
“Di mana Fahri ketika saya dan aktivis 98 lainnya berkali kali meyakinkan Presiden Jokowi agar menggunakan kewenangannya untuk membebaskan puluhan tahanan politik Papua?”
“Banyak dan teramat banyak cerita yang bisa saya sampaikan. Maaf, jika saya menguraikan semua itu,” katanya.
Adian menegaskan tidak bermaksud memegahkan dan menyombongkan diri. Namun, merasa perlu menjawab pesan kritik yang disampaikan Fahri lewat kicauannya di Twitter.
“Melalui jawaban ini saya mencoba mengingatkan Fahri untuk tidak saling menghakimi dan mempertanyakan pilihan jalan dan pilihan perjuangan masing masing.”
“Saya hanya ingin mengingatkan Fahri, bahwa ada waktu di mana bicara, tetapi ada juga banyak waktu bekerja tanpa suara. Karena seringkali satu perbuatan lebih berarti dari sejuta ucapan,” katanya.
Pada bagian akhir Adian mengingatkan Fahri, bahwa hari ini tepat 24 tahun lalu, empat mahasiswa dari Trisakti sedang meregang nyawa.
“Tubuh mereka berlumur darah, menahan sakit lalu meninggal karena ditembak. Di atas gugurnya mereka, maka berikutnya lahir kebebasan yang dirasakan saat ini.”
“Lahir partai partai politik, serikat serikat buruh, kebebasan media, presiden, Gubernur, Bupati dan anggota dewan yang dipilih langsung oleh rakyat. Lahir Mahkamah Konsitusi, KPK, lahir pemisahan Polri dan TNI dan banyak lagi. Salam reformasi, merdeka,” pungkas Adian. (KJ/jpnn/fajar)
Posting Komentar untuk "Ini Kata Pentolan aktivis 98 Pada Waketum Partai Gelora, Tajam!"