Foto: Camera Mohammad Natsir sedang menyampaikan khotbah di hadapan jemaah salat Idulfitri di Lapangan Banteng, Jakarta, pada 1951. (ANRI). |
Oleh Hendri F. Isnaeni | 05 Mei 2022 / Historia
Kabaran Jabar, - Saat itu, lebaran jatuh pada hari Jumat 6 Agustus 1948, Jakarta diduduki tentara Belanda. Pemerintah Republik Indonesia telah hijrah ke Yogyakarta bertepatan bulan Kemerdekaan.
Penduduk Jakarta bertekad mengadakan Sholat Id di halaman rumah Pegangsaan Timur 56 tempat Sukarno membacakan Proklamasi kemerdekaan, bekas rumah Sukarno yang dijadikan gedung perwakilan pemerintah Indonesia.
Politiek Inlichtingen Dienst atau Dinas Intelijen Politik mendatangi panitia salat Id dan menyampaikan, bahwa HTB Bestuur atau Kepala Pemerintahan Sementara melarang salat Id di lapangan Pegangsaan Timur 56 pada 4 Agustus 1948.
Panitia menemui Pokrol Jendral Procureur Generaal atau Jaksa Agung pada keesokan harinya. Belanda melaporkan soal larangan itu ternyata, keberatan salat Id dilaksanakan di Pegangsaan Timur 56.
Setelah terjadi dialog, Pokrol Jenderal mengizinkan Sholat Id di Pegangsaan Timur 56, dengan syarat hanya diikuti oleh seratus orang, apabila lebih dari itu salat Id harus dilakukan di lapangan Gambir.
Dalam tulisan A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Pemberontakan PKI 1948.
“Syarat pertama dan kedua oleh panitia tidak dapat diterima dan selanjutnya panitia menyatakan, bahwa jadi tidaknya sembahyang Id tergantung kepada ada atau tidaknya masyarakat yang mau bersembahyang,”
Larangan dan tawaran itu sekali lagi ditolak oleh panitia beberapa saat sebelum salat Id dimulai. Utusan polisi Belanda datang lagi mengulangi larangannya sambil menawarkan kembali lapangan Gambir pada pagi di hari Jumat.
Dalam tulisan Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid IV (1948).
“Sebagai diketahui, Pegangsaan Timur 56 oleh rakyat Jakarta dianggap simbol Republik, sedangkan lapangan Gambir simbol kekuasaan asing,”
Walaupun beberapa jalan menuju ke tempat salat Id dijaga oleh polisi Belanda sejak pagi hari.
Nasution mencatat, ribuan rakyat Jakarta yang setia pada Republik Indonesia tetap datang.
“bagaikan banjir dari segala jurusan, sehingga menyebabkan halaman depan dan belakang gedung Republik Indonesia itu penuh sesak dan melimpah-limpah dengan manusia, baik laki-laki maupun perempuan.”
Tetapi sampai di sekitar tempat sembahyang, penjagaan polisi kuat sekali dan tidak hanya di luar halaman.
"Beberapa orang digeledah, tetapi pekerjaan itu tidak dapat dilakukan terus, karena besarnya jumlah rakyat yang datang,” tulis Nasution.
Ribuan rakyat yang datang berduyun-duyun membuat polisi Belanda tidak bisa mengambil tindakan. Menurut Pram dkk, kecuali mengizinkan Umat Islam di daerah pendudukan ini melakukan kewajiban agamanya.
Sebagai imam dan khotib, Sholat Id dipimpin oleh Muhammad Ali Alhamidi menggantikan Mohammad Natsir yang berhalangan.
Beberapa buah tank dan sebuah jeep berisi polisi militer Belanda mondar-mandir di depan gedung Republik. Namun, jemaah tidak memperdulikannya.
Anggota polisi Belanda berjaga-jaga dari sebelum sampai selesai Sholat Id.
Rombongan rakyat yang dihalangi masuk, Nasution menyebut bermaksud akan sembahyang di luar halaman sehingga terpaksa polisi melepaskannya.
Sholat Id di Negara Pasundan pada 6 Agustus 1948. (Repro Negara Pasundan Satu Tahun, 24 April 1948-1949). |
Mereka kemudian sembahyang di tempat mereka tertahan itu. Namun, menurut Pram, dkk., insiden kecil itu terjadi ketika polisi melarang beberapa ratus umat Islam yang tertahan di depan lapangan, tetapi polisi melarang dan akhirnya mereka hanya dapat mengucapkan takbir tiga kali.
Selain menghalangi salat Id di Pegangsaan Timur 56, pemerintah pendudukan Belanda juga menetapkan Idulfitri pada 7 Agustus 1948 untuk Jakarta dan sekitarnya. Sedangkan pemerintah Indonesia dan pemerintah Negara Pasundan menentukan Idulfitri pada 6 Agustus 1948.
Posting Komentar untuk "Dahulu Kala, Belanda Melarang Umat Islam untuk Hadiri Sholat Id"