Sistem Proporsional Terbuka, Wani Piro |
Oleh: Idat Mustari
Pemerhati Sosial, Penceramah dan Advokat
Kabaran Jabar, - Setelah sekian lama para Caleg menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sistem pemilu tertutup atau tebuka.
Akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemilu 2024 digelar dengan sistem proporsional terbuka. Artinya caleg terpilh ditentukan oleh jumlah suara terbanyak.
Terlepas pro dan kontra dari sistem proporsional terbuka, namun sistem ini punya nilai lebih, dalam hal derajat keterwakilan, karena pemilih (rakyat) bebas memilih wakilnya yang akan duduk di legislatif secara langsung, sehingga pemilih dapat terus mengontrol orang yang dipilihnya.
Sistem proposional terbuka mendorong kandidat bersaing dalam memobilisasi dukungan massa untuk kemenangan. Terbangunnya kedekatan antara pemilih dengan yang dipilih. Terbangunnya kedekatan antar pemilih.
Memang sistem proporsional terbuka, berakibat ketidakjelasan arti dari kader politik. Seseorang yang lama aktif di partai bisa dikalahkan oleh kader dadakan, karena memperoleh jumlah suara yang lebih besar dibandingkan caleg lainnya.
Sistem proporsional terbuka pun memberi peluang yang sama bagi setiap caleg tanpa dibatasi oleh kualitas diri. Dengan kata lain, seorang caleg yang lemah pengetahuannya, belepotan cara bicaranya, selama memperoleh dukungan masa yang besar, berpeluang terpilih dibandingkan caleg yang memiliki kompetisi diri bagus sekalipun.
Betul memang, bahwa politik uang bisa terjadi baik di sistem tertutup sekalipun. Namun sistem proporsional terbuka lebih memantik terjadinya politik transaksional.
Politik transaksional tidak lagi bicara kualitas melainkan “isi tas.” Disini tidak ada lagi paparan misi-visi sang caleg. Disini tidak berlaku perjuangan idealisme, sebab bagi sebagian rakyat, tidak butuh janji melainkan yang nyata-nyata saja, yakni duit.
Caleg yang berduit bisa membeli suara rakyat sebagai pemilih secara tunai. Begitupun “rakyat” pun senang apalagi ditengah kondisi perekonomian semakin sulit. "Pemilih" membuat keputusan tidak pada basis pertimbangan program dan gagasan yang berdampak jangka panjang, melainkan pada seberapa besar “amplov,” yang dikeluarkan oleh sang Caleg.
Dalam teori, politik uang adalah musuh besar demokrasi. Namun pada kenyataannya Politik uang adalah senjata pamungkas dalam meraih pemilih pada hari H.
Dalam Politik transaksional pun para caleg akan bertemu dengan tokoh masyarakat, tokoh ormas, yang mengklaim punya basis masa yang banyak yang siap untuk mendukung sang caleg, tentu saja itupun tidak gratis.
Politik transaksional adalah racun yang menggerogoti bangsa. Namun menjadikan Pileg 2024 bersih dari politik transaksional seperti peribahasa, menggantang asap mengukir langit mustahil terjadi, ketika rakyat (pemilih) berkata, wani piro.
Tentu saja tidak semua rakyat seperti itu, ada pula rakyat yang memilih tidak berdasarkan uang melainkan berdasarkan ukuran kualiatas sang caleg, namun jumlahnya sangat sedikit.
Kondisi politik transaksional di pileg 2024, tak bisa dihindari akan tetap ada. Para caleg berada dalam pilihan, maju terus dengan membawa memperjuangkan idealisme atau yang penting terpilih berapapun besar duit yang harus dikeluarkan, semuanya kembali kepada para caleg yang akan bertempur di pileg 2024.
Selamat Bertempur meraih suara rakyat dan siap-siaplah dengan kata sakti dalam jual beli suara “wani piro”.
Posting Komentar untuk "Sistem Proporsional Terbuka, Wani Piro"