Post ADS 1

Merajut Keragaman, Gelombang Musik Cadas pada Dekade 1990an

Merajut Keragaman, Gelombang Musik Cadas pada Dekade 1990an / Penulis bersama band Idolator , usai acara Pentas Kemerdekaan tahun 1993 di Linggawastu yang disponsori GMR. (Foto: Indra Prayana)
Kabaran Jabar, - Musik rock memang menjadi artefak penting di Bandung pada dekade 1990an, tetapi seiring waktu, perkembangan musik telah merajut keragaman yang tak terpisahkan dari identitas Kota Bandung.

Tentu, era 1990an memang dikenal dengan gelombang musik cadas yang kuat, dan banyak orang pribadi di Bandung merasakan pengaruhnya baik secara langsung maupun tidak langsung.

Bandung memang telah menjadi lumbung musik rock di Indonesia. Banyak musisi rock terkemuka lahir dari kota ini, dan kontribusi mereka telah menciptakan reputasi Bandung sebagai pusat kegiatan musik rock yang tangguh dan disegani di Tanah Air.

Era 1970-an membawa kehadiran band-band seperti The Rollies, Philosophy Gang of Harry Roesli, Rhapsodia, Super Kids, dan Giant Step yang memberikan warna tersendiri dalam musik rock Indonesia. Pada pertengahan 1980-an, muncul fenomena baru dengan band-band seperti Rudal, Jam Rock, serta kehadiran lady rocker Nicky Astria dan Mel Shandy yang semakin memperkaya kisah musik rock Indonesia.

Pertengahan 1980-an menjadi periode di mana perkembangan musik rock di Indonesia mencapai puncaknya. Banyak musisi lokal dan internasional melihat Indonesia sebagai pasar potensial, menciptakan keberagaman dan daya tarik bagi para penikmat musik rock seperti Anda yang pada saat itu sedang mengalami masa remaja. Periode tersebut memang meninggalkan jejak yang kuat dalam sejarah musik Indonesia.

Pentingnya peran radio dalam menyebarkan musik rock pada masa itu memang tak terbantahkan.

GMR atau Generasi Muda Radio menjadi salah satu sumber utama bagi para anak muda Bandung untuk mendengarkan lagu-lagu rock yang sedang trend.

Radio menjadi jendela dunia musik dan cara yang efektif untuk terhubung dengan komunitas musik cadas.

Generasi Muda Radio (GMR)
GMR atau Generasi Muda Radio menjadi ikon penting dalam memutarkan musik cadas di Bandung pada tahun 1990an.
Logo Generasi Muda Radio (GMR). (Sumber: GMR Fans Club)
Perkembangan ini memang dimulai dari era 1960an, di mana muncul berbagai pemancar radio seperti Falcon, Mercy 73, Bongkeng, Shableng, Mara 27, Blue Angel, dan yang paling populer, "YG" atau Young Generation. Inisiatif dari komunitas pemancar radio tersebut menjadi landasan bagi kemunculan GMR sebagai stasiun radio yang sangat berpengaruh di dunia musik Bandung.

Sonny Lion's atau "Bung Redup" sebagai penanggung jawab Young Generation (YG) memainkan peran kunci dalam pencetusannya.

Menarik untuk dicatat bahwa siaran YG dapat ditangkap di berbagai daerah seperti Kabupaten Bandung, Majalaya, Bogor, Garut, dan sebagian sekitar Sukabumi, menunjukkan dampak dan jangkauan yang luas dalam menyebarkan musik dan pesan. YG memang menjadi pionir yang berpengaruh dalam perkembangan musik di era tersebut.

Informasi tersebut memberikan gambaran yang sangat rinci mengenai perjalanan Young Generation (YG). Dari awalnya mengudara pada 30 Desember 1968 dengan gelombang pancar 227 meter dan pesawat telepon 51563 di Jalan Kejaksaan, hingga pindah ke kantor baru di Jalan Trunojoyo no. 14 Bandung pada 3 Mei 1969.
Logo YG (Young Generation). (Foto: Indra Prayana)
Transformasi dari gelombang frekuensi 1368 kHz AM ke format FM pada tahun 1990 serta perubahan nama menjadi Generasi Muda Radio (GMR) dengan label "Rock Station" pada frekuensi 104,4 Mhz mencerminkan evolusi yang signifikan selama bertahun-tahun.

GMR menjadi sumber daya utama bagi para penggemar musik cadas dengan menghadirkan berbagai varian dari genre soft, hard, hingga dark music.

Dari sebuah Rumah di Jalan Dr. Hatta no. 15 Bandung menjadi panggung untuk menyebarkan getaran musik rock ke berbagai pelosok, termasuk kampung-kampung di sekitarnya seperti di Jalan Cihampelas.

Peran GMR tidak hanya memengaruhi anak-anak muda di kota Bandung, tetapi juga mencapai kawasan yang lebih luas, menciptakan penggemar musik cadas di berbagai lapisan masyarakat.

Memang, berbagai band dan komunitas musik yang tumbuh menciptakan keberagaman dan semangat kolaboratif dalam dunia musik cadas. Schizoprenia dengan Herman Husain sebagai drummer Jamrud, Noise Damage, Fatal Death, Brutality, Idolator, Motor Death, dan lainnya membentuk jejaring antar komunitas dari berbagai daerah.

Tempat-tempat seperti kios-kios kaset Cihapit, seputaran BIP Jalan Merdeka, atau pusat kota Alun-alun menjadi markas bagi para peminat musik cadas yang berkumpul untuk berbagi informasi, bertukar koleksi, dan melakukan jual beli merchandise dengan identitas seragam berupa T-shirt hitam dan aksesori lainnya. Inilah atmosfer yang menciptakan solidaritas di antara komunitas musik.

GMR memainkan peran vital sebagai media yang dapat menjangkau pendengar secara luas dalam kondisi komunikasi dan informasi yang belum semudah sekarang.

Kontribusi besar GMR terhadap perkembangan musik di kota Bandung terlihat melalui berbagai program acaranya yang menarik seperti Siksik, Ring My Bell, Sunday Rock, Stones Program, Tembang Pribumi, dan lainnya.

Program-program tersebut tidak hanya memberikan informasi kepada pendengar tetapi juga mengemasnya dengan cara yang menarik, menciptakan pengalaman mendengarkan yang berkesan bagi komunitas musik cadas di waktu itu.

"Siksik" program dengan konsep pemutaran lagu yang didukung minimal oleh tiga orang, dipandu oleh penyiar Arien Hendriani, menawarkan pengalaman interaktif yang menuntut kerja sama, kecepatan, dan kesabaran dari pendengar.

Proses pengiriman request lagu melalui pesawat telepon GMR 439952 menambahkan aspek interaktif lainnya, di mana banyak pendengar harus menggunakan jasa telepon umum koin untuk berpartisipasi.

Selain menjadi hiburan, GMR juga aktif mendukung kreativitas anak muda terkait musik cadas dengan berperan sebagai media partner atau sponsor untuk pertunjukan musik.

Ini menunjukkan peran positif GMR dalam memupuk dan mendukung ekosistem musik cadas di Bandung pada masa itu.

Mendukung Pentas Musik Underground
GOR Saparua di Jalan Banda menjadi salah satu tempat ikonik untuk pertunjukan musik di Bandung. Kawasan lapang Saparua telah menjadi pusat kegiatan musik yang memiliki nilai sejarah khususnya untuk pecinta musik underground.

Hampir setiap pekan, GOR Saparua menjadi panggung bagi berbagai pentas musik dengan kemasan yang beragam, menciptakan ruang yang vital dan bersejarah bagi komunitas musik di Bandung.

Tempat seperti ini tidak hanya menjadi wadah bagi para musisi untuk tampil, tetapi juga menjadi pusat pertemuan dan ekspresi bagi para penggemar musik di kota tersebut.

GOR Saparua memang menjadi lumbung bagi kelahiran banyak band ternama, seperti Burgerkill, Jeruji, Jasad, dan lainnya.

Acara-acara besar seperti "Bandung Berisik", Hulabaloo, dan Bandung Lunatic Underground menjadikan GOR Saparua sebagai tempat khusus bagi para pecinta musik cadas, merangkulnya sebagai "tempat suci" yang terkait erat dengan kultur generasi muda pada masa itu.

"Koalisi Musik Indie" BEM FISIP UNLA tahun 1999 di tempat ini menunjukkan betapa GOR Saparua memiliki peran sentral dalam memfasilitasi pertemuan, kolaborasi, dan perhelatan musik indie di Bandung.

Lapang Saparua memiliki sejarah yang panjang. Awalnya dikenal sebagai NIAU (Nederlands Indie Athletiek Unie), lapangan ini dibangun pada tahun 1910 oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai tempat olahraga untuk berbagai permainan atletik.

Seiring waktu, lapangan ini menjadi saksi berbagai perubahan dan peristiwa, termasuk transformasinya menjadi pusat kegiatan musik seperti yang kita kenal saat ini.

Sebagai tempat yang berseberangan dengan gedung Jaarbeurs, Lapang Saparua tidak hanya menjadi tempat untuk olahraga, tetapi juga menjadi pusat hiburan dan seni, mempromosikan Kota Bandung sebagai pusat kegiatan yang berkembang. Ini adalah keterkaitan sejarah yang memperkaya lapisan budaya kota.

Selain GMR, keberadaan radio lain ada juga yang memutar lagu-lagu cadas seperti di Perumahan Suka Asih Ujung Berung, daerah timur Bandung, memberikan variasi dan pilihan kepada para pendengar musik cadas.

Program "Badebah" dengan aliran grind core, death metal, dan black metal yang dipandu oleh penyiar seperti Agung 'van Basten', Ipung 'Funeral', dan Dinan Rinaldy 'Necromancy' menambahkan keberagaman dalam pengalaman mendengarkan musik cadas di Bandung.

Meskipun volumenya tidak sepadat GMR yang fokus sebagai satu-satunya rock station di Indonesia, tetapi kontribusi dari radio-radio tersebut memperkaya panorama musik cadas.

Sepertinya, perubahan dalam keberlanjutan GMR dan penurunan kegiatan dalam skena musik anak muda Bandung menjadi kabur dalam informasi.

Namun, jika gelombang 104,4 FM tidak lagi mengudara dan GMR benar-benar gulung tikar pada penghujung tahun 2003 seiring bergantinya manajemen, hal ini tentu merupakan kehilangan yang dirasakan oleh komunitas musik di Bandung.

Perubahan manajemen dan tantangan lainnya mungkin telah memainkan peran dalam meredupnya masa kejayaan GMR.

Penulisan adalah: Indra Prayana
Pegiat buku dan surat kabar

Artikel ini pernah terbit pada di Bandung Bergerak pada 31 Oktober 2023, dengan judul : Musik Metal dan Generasi Muda Radio (GMR) Bandung

Posting Komentar untuk "Merajut Keragaman, Gelombang Musik Cadas pada Dekade 1990an"

Ketika dunia memberi tantangan, kita sering merasa ragu, seakan tak mampu menghadapi segala hal yang datang. Namun, dalam setiap perjalanan hidup, ada kekuatan yang lebih besar dari ketakutan kita: kepercayaan pada diri sendiri. Lirik-lirik lagu seringkali menjadi cermin dari perasaan ini, mengingatkan kita untuk tetap tegar meski angin hidup tak selalu sejalan dengan harapan.

Post ADS 1
Iklan Baris
Membuat Web Propesional. - Hub: - Kabaran Market di 0878-5243-1990
Penjualan Motor
- - -
Seedbacklink