Kabaran Jabar, - Harga kebutuhan pokok terus melambung, nilai tukar rupiah mendekati titik terendah sejak krisis 1998, dan daya beli masyarakat menurun drastis.
Pada 17 April 2025, rupiah tercatat di level Rp16.640 per dolar AS—angka yang mencemaskan dan mengguncang kepercayaan publik terhadap stabilitas ekonomi nasional.
Inflasi bulanan mencapai 1,65% pada Maret, didorong oleh kenaikan tarif listrik, bahan bakar, dan harga emas yang melonjak. Di tengah kekacauan ini, satu pertanyaan kembali mencuat: mungkinkah redenominasi menjadi solusi?
Redenominasi rupiah—pengurangan nol dalam satuan mata uang—kembali menjadi topik hangat.
Tujuannya bukan untuk menaikkan nilai tukar, tetapi menyederhanakan sistem moneter dan menumbuhkan kepercayaan terhadap rupiah.
Misalnya, jika sekarang harga kopi Rp20.000, maka setelah redenominasi bisa menjadi Rp20. Namun, dampaknya tak sesederhana mengganti angka di label harga.
Secara teori, redenominasi bertujuan menciptakan efisiensi dalam transaksi, akuntansi, dan pelaporan keuangan. Ini juga bisa memperbaiki citra mata uang secara psikologis, terutama di mata investor internasional.
Negara dengan struktur ekonomi yang kuat dan inflasi terkendali bisa memanfaatkan redenominasi untuk memperkuat sistem keuangan nasional.
Selain itu, transaksi digital dan perbankan akan menjadi lebih ringkas dan efisien. Singkatnya, redenominasi bukanlah sekadar pemangkasan angka, tetapi juga strategi jangka panjang untuk membangun kepercayaan.
Sejumlah negara telah mencoba jalan ini. Turki, pada 2005, sukses menghapus enam nol dari lira demi menekan hiperinflasi. Sebaliknya, Zimbabwe gagal total karena melakukannya saat krisis masih membara.
Studi IMF (2023) menunjukkan bahwa redenominasi hanya efektif jika dilakukan saat ekonomi relatif stabil dan masyarakat percaya pada institusi negara. Bagaimana dengan Indonesia?
Sayangnya, kondisi saat ini belum ideal. Investor global mencemaskan program populis pemerintah yang dinilai terlalu ambisius secara fiskal, seperti program makan gratis yang bernilai Rp400 triliun per tahun.
Defisit APBN mencapai Rp31,2 triliun pada Februari 2025, disertai dengan keluarnya modal asing hingga Rp29 triliun dari pasar saham. Ditambah lagi revisi UU TNI yang memperluas peran militer di sipil turut memperburuk persepsi internasional.
“Stabilitas bukan hanya soal angka makro, tapi juga persepsi dan konsistensi kebijakan,” ujar Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS.
Dalam situasi seperti ini, menerapkan redenominasi bisa justru memperburuk ketidakpastian, bukan memperbaikinya.
Redenominasi bisa menjadi langkah strategis jangka panjang—tetapi bukan solusi instan atas krisis yang bersifat struktural. Jangan sampai kita mengganti wajah mata uang tanpa mengubah wajah kebijakan yang mendasarinya.
Oleh: Zahrawani Syam Hartono, Mahasiswa Universitas Tazkia Bogor
Pewarta: Mas Bons
Editor: Warsono
0Komentar