Kabaran Jabar, - Di tengah derasnya arus digital, anak-anak kita perlahan tenggelam dalam lautan layar. Apa yang dulu jadi hiburan, kini menjelma candu yang merampas tawa alami masa kecil. Fenomena kecanduan gadget bukan sekadar soal anak malas belajar atau susah tidur. Ini persoalan yang merayap pelan, namun menghantam keras.
Psikolog Klinis dari P2TP2A Kota Cimahi, Yukie Agustia Kusmala, tak ragu menyebut kondisi ini sebagai bentuk ketergantungan serius.
“Polanya menyerupai kecanduan narkotika. Ketika gadget diambil, anak bisa mengalami kecemasan, tantrum, hingga ledakan amarah,” ungkapnya kepada Kabaran Jabar, Kamis (8/5/2025).
Ledakan emosi itu, kata Yukie, bukan semata-mata karena anak manja. Di balik layar, otak anak terprogram oleh stimulus menyenangkan dari gim dan media sosial. Jika dibiarkan, ini bisa membentuk pola adiktif yang membekas hingga dewasa.
Lebih dari itu, dunia digital tak hanya membawa kecanduan, tapi juga potensi kekerasan. Data dari P2TP2A Cimahi menunjukkan 27 kasus kekerasan dalam rentang Januari hingga April 2025. Dari jumlah itu, kekerasan fisik dan psikis mendominasi dengan 13 kasus, disusul KDRT, penelantaran anak, hingga kekerasan berbasis orientasi seksual dan self-harm.
Meski tidak ditemukan kasus trafficking, Yukie menegaskan bahwa kekerasan seksual tetap menjadi hantu paling nyata dalam data mereka. Tahun 2022, total 78 kasus tercatat—sebuah angka yang mencerminkan betapa rapuhnya perlindungan terhadap anak dalam ekosistem yang tampak ‘biasa saja’.
Menariknya, Yukie menyebut akar persoalan ini sering kali bukan berasal dari internet itu sendiri, melainkan dari lingkungan keluarga dan sosial yang tidak aman. Banyak anak akhirnya melarikan diri ke dunia digital, hanya untuk terjebak lebih dalam dalam pusaran konten negatif—dari permainan yang menyelipkan judi, hingga media sosial yang menyuburkan perbandingan tidak sehat.
Solusinya? Bukan dengan menyita gadget, tapi membangun dunia nyata yang lebih menarik.
“Orangtua harus menyediakan alternatif seperti kegiatan seni, olahraga, dan ruang bermain yang sehat. Tujuannya bukan sekadar mengisi waktu, tapi mengisi jiwa,” ujar Yukie.
Lebih dari sekadar pengawas, orangtua dituntut menjadi teman digital bagi anak-anaknya—hadir, mendengar, membatasi, dan memahami. “Berinteraksilah dengan hangat. Tahu apa yang mereka tonton, dan berbicaralah dengan kasih.”
Sementara itu, Kepala DP3AP2KB Kota Cimahi, Fitriani Manan, mengungkap sisi lain dari gunung es kekerasan: banyak korban memilih diam karena takut aib. Mirisnya, pelaku justru sering berasal dari lingkaran terdekat.
“Mereka kerap mengakses situs-situs porno dan melampiaskannya pada yang terlemah,” katanya.
Fenomena ini menggambarkan satu hal: dunia digital bisa menjadi jendela ilmu, tapi juga bisa menjadi jerat berbahaya jika tak ada yang menjaga dari balik layar. (Bons)
Ikuti saluran Kabaran Jabar Portal Informasi di WhatsApp:
![]() |
DP3AP2KB Cimahi, Fitriani Manan: Jendela Ilmu atau Jerat Digital Mematikan |
0Komentar