Kabaran Jabar, - Di tangan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi yang nyentrik dan blak-blakan, kawasan industri Rebana menjelma bukan sekadar proyek pembangunan. Ia menjadi semacam mimpi kolektif tentang masa depan ekonomi Jawa Barat yang tak lagi bertumpu pada cangkul dan sawah, tetapi pada mesin-mesin produksi dan pabrik modern.
Dalam pidatonya yang ditayangkan di Lembur Pakuan Channel, KDM begitu ia disapa menyuguhkan peta jalan ambisius: menjadikan Rebana sebagai poros industri baru yang tak hanya membangun beton dan baja, tapi juga mentalitas dan harapan.
Namun seperti halnya mimpi, keberhasilan bukan ditentukan oleh kata-kata yang menginspirasi, melainkan langkah-langkah konkret yang bisa dijalankan. Dan di sinilah tantangan KDM sesungguhnya: menjembatani antara idealisme pembangunan dan realitas lapangan yang keras.
Langkah Besar, Tapi Tanpa Sepatu yang Pas?
KDM melihat bahwa saat ini justru sektor pertanian yang menopang perekonomian Jawa Barat. Sebuah observasi tajam, sekaligus ironi. Maka, industrialisasi Rebana menjadi solusinya. Sayangnya, akselerasi ini terasa seperti lari maraton yang dimulai dengan sprint tergesa tanpa persiapan yang matang. Infrastruktur masih jadi ganjalan klasik: pelabuhan, air bersih, listrik. Solusi yang ditawarkan masih sebatas “bangun ini dan itu”. Tapi apakah cukup?
Air bersih, misalnya, dilarang diambil dari tanah, demi menjaga lingkungan. Tapi tanpa opsi nyata seperti waduk atau sistem daur ulang, larangan ini hanya akan menjerat pengusaha dalam dilema. Di sinilah KDM ditantang untuk melampaui retorika: membangun kolaborasi konkret dengan swasta untuk menciptakan infrastruktur berkelanjutan.
Lahan, Preman, dan Janji Transparansi
Rebana bukan lahan kosong. Ada tanah, ada harga, dan ada permainan. KDM tak menutup mata soal spekulasi lahan yang dikendalikan oleh "korporasi lokal". Ia menyentil, tapi belum menggigit. Menyuruh aparatur desa ikut mengawasi adalah ide bagus, tapi siapa yang mengawasi mereka? Tanpa audit independen atau platform kepemilikan lahan yang terbuka, semangat anti-spekulasi bisa tenggelam dalam praktik lama.
Soal premanisme? KDM menyebutnya, dan menyarankan “negosiasi.” Tapi realitas di lapangan lebih kompleks dari sekadar obrolan. Dibutuhkan satgas yang tajam dan terkoordinasi, yang berani menembus lingkaran gelap kekuasaan lokal. Dan itu tak cukup dengan seruan, tapi dengan mekanisme, anggaran, dan keberanian politik.
Literasi Finansial: Dari “Istri Baru” ke Investasi Baru
KDM menyinggung fenomena pasca-pembebasan lahan yang kerap menyedihkan kompensasi habis untuk konsumsi, bukan investasi. Ia tak salah. Namun, menyadari masalah tidak sama dengan menyelesaikannya. Edukasi masyarakat bukan hanya urusan sosialisasi di balai desa. Dibutuhkan sistem yang hadir terus-menerus, seperti koperasi, lembaga keuangan mikro, dan pelatihan yang merakyat.
Kalau tidak, warga akan kehilangan tanah dan uang sekaligus. Dan akhirnya, hanya bisa memandang kawasan industri megah dari teras rumah kontrakan.
SMK, Disiplin, dan Dunia Industri
Reformasi pendidikan vokasi jadi titik terang dari strategi KDM. Ia paham bahwa lulusan SMK sering kali tak siap pakai. Maka, kurikulum baru, disiplin ala militer, dan kemitraan industri menjadi jawabannya. Tapi disiplin militer tak boleh mengebiri kreativitas. Dunia industri masa depan butuh pekerja yang adaptif, bukan hanya patuh.
Maka, tugas berikutnya: menggandeng industri besar, menyusun kurikulum berbasis kebutuhan riil, dan menjadikan politeknik bukan sekadar sekolah, tapi lumbung talenta masa depan.
Perizinan dan Jebakan Birokrasi
Masalah klasik: izin yang lama, prosedur yang rumit, pejabat yang takut disalahkan. Solusi KDM berupa katalog konsultan perizinan adalah terobosan. Tapi tanpa digitalisasi, semua itu tetap berisiko dibajak oleh kepentingan. Jawa Barat perlu sistem perizinan daring yang bukan hanya cepat dan transparan, tapi juga mudah digunakan.
Kalau tidak, investor akan terus kabur, bukan karena tidak percaya pada Jawa Barat, tapi karena terlalu lelah menghadapi sistem yang berbelit.
Ekosistem, Bukan Sekadar Kawasan Industri
Yang menarik, KDM tak hanya bicara pabrik. Ia bicara sawah, hutan, dan pariwisata—sebuah upaya menyatukan ekonomi dan ekologi. Tapi konsep ini masih mentah. Dibutuhkan desain kawasan yang menerapkan prinsip green industrial park, di mana ruang hijau bukan pelengkap, tapi bagian dari sistem kerja. Gagasan menjadikan BIJB sebagai pusat haji-umrah dan belanja pun menarik, tapi harus dibarengi dengan perjanjian antar-lembaga, strategi promosi, dan studi kelayakan yang matang.
Narasi Digital, Antara Edukasi dan Eksploitasi
Terakhir, penggunaan media sosial oleh KDM sebagai alat transformasi mental masyarakat adalah langkah yang relevan. Tapi hati-hati: konten digital bisa jadi alat edukasi, tapi juga bisa menjelma jadi panggung sensasi. Yang dibutuhkan adalah narasi yang membumi—kisah sukses warga biasa, bukan jargon elite.
Kesimpulan: Dari Narasi ke Aksi
Rebana bisa jadi cerita sukses baru Jawa Barat, jika dijalankan dengan presisi. Gagasan KDM layak diapresiasi, tapi eksekusinya harus konkret dan terukur. Infrastruktur perlu dikelola secara kolaboratif, masyarakat diberdayakan secara nyata, dan investasi didorong lewat sistem yang bersih dan efisien.
Pembangunan bukan soal seberapa banyak pidato disampaikan, tapi seberapa banyak hidup yang berubah. Atau seperti kata pepatah Sunda: “Teu kudu loba omong, tapi kudu loba lampah.”
Jika KDM mampu membuktikan itu, maka Rebana tak hanya akan jadi kawasan industri tapi simbol kebangkitan baru Jawa Barat. *
Oleh: Kang Nandang | Ketum Save Jabar
Ikuti saluran Kabaran Jabar Portal Informasi di WhatsApp:
0Komentar