Kabaran Jabar, - Bayangkan, setelah bertahun-tahun turun ke jalan, berdebat di media sosial, hingga melawan arus kebijakan pemerintah, akhirnya impian itu tercapai: duduk di kursi empuk DPR. Dengan penuh idealisme, tekad pun dibawa membuat undang-undang pro-rakyat. Daftar mimpi sudah tersusun: RUU Perampasan Aset Koruptor, RUU Reforma Agraria, RUU Perlindungan Buruh, hingga RUU Pembatasan Gaji Pejabat.
Namun langkah pertama langsung terhenti. Tembok tinggi bernama fraksi berdiri kokoh. Kursi itu ternyata milik partai, bukan milik pribadi. Gagasan sehebat apa pun bisa mati sebelum lahir jika fraksi berkata “tidak.” Melawan? Risikonya PAW, pergantian antar waktu.
Kalaupun fraksi memberi lampu hijau, perjuangan baru dimulai di Badan Legislasi DPR (Baleg). Ratusan RUU ditumpuk, diperas, dan disaring bukan berdasarkan urgensi bagi rakyat, melainkan apakah sesuai prioritas politik. RUU yang tak dianggap penting tamat di meja Baleg.
Lolos Baleg bukan akhir. RUU harus masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), daftar resmi yang menentukan apa yang boleh dibahas. Jika tak masuk, seluruh kerja keras hanya berakhir sebagai file PDF tak terbaca di komputer staf ahli.
Dan jika semua prosedur berhasil ditembus, ujian berikutnya adalah pembahasan di komisi dan panitia kerja. Bukan sekadar adu argumen idealis, melainkan arena lobi, tarik-ulur kepentingan, dan intervensi sponsor. Pasal bisa gugur demi kepentingan bisnis, pasal lain bisa muncul karena tekanan investor.
Ketika tiba di sidang paripurna, mimpi berpidato gagah di depan wakil rakyat sering kali hanya berujung kekecewaan. Kursi kosong mendominasi, anggota sibuk dengan ponsel, sebagian tertidur. Sikap fraksi sudah dikunci sebelum sidang dimulai. Mikrofon bisa dipotong kapan saja, dan voting berakhir dalam hitungan detik.
Yang lebih menyakitkan: rakyat yang diperjuangkan tak pernah benar-benar dilibatkan. Akses ke dokumen terbatas, bahasa hukum rumit, dan ruang partisipasi hanya simbolis. Saat rakyat bersuara di luar gedung, mereka dicap emosional, tak paham aturan.
Bahkan jika RUU berhasil disahkan, Presiden masih bisa menunda dengan tak menandatangani. Secara hukum tetap berlaku setelah 30 hari, tapi tanpa aturan turunan dan anggaran, undang-undang itu hanya kertas tanpa nyawa.
Inilah wajah demokrasi di Indonesia: panggung megah yang seolah memberi ruang pada rakyat, namun di balik layar dimainkan segelintir elite. RUU pro-rakyat bisa terkatung-katung bertahun-tahun, sedangkan RUU titipan pengusaha bisa melesat disahkan hanya dalam hitungan jam.
Tidak heran jika banyak pihak mulai meragukan demokrasi. Dari kalangan agama, aktivis, hingga filsuf sejak Plato dan Aristoteles, semuanya pernah mengingatkan: demokrasi sering kali berujung pada tirani mayoritas, bahkan kediktatoran yang dibungkus legitimasi rakyat.
Maka wajar jika muncul pertanyaan: benarkah demokrasi masih menjadi jalan terbaik? Ataukah hanya topeng indah yang menutupi kenyataan pahit bahwa suara rakyat tak pernah benar-benar berdaulat? *
Oleh: Adrian
Ikuti saluran Kabaran Jabar Portal Informasi di WhatsApp:
0Komentar