Kabaran Jabar, - Aliran dana bonus produksi panas bumi (geothermal) Gunung Salak senilai Rp13,79 miliar ke 15 desa di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, menjadi sorotan publik. Dana yang bersumber dari aktivitas produksi Star Energy Geothermal Salak tersebut diyakini mampu mempercepat pembangunan desa. Namun di sisi lain, besarnya nominal anggaran justru memunculkan pertanyaan serius terkait transparansi dan ketepatan pengelolaannya.
Hasil penelusuran menunjukkan, dana bonus produksi disalurkan kepada desa-desa yang berada di sekitar wilayah kerja geothermal. Empat desa tercatat menerima porsi terbesar, masing-masing sekitar Rp1,1 miliar, yakni Desa Purbawakti, Cibunian, Ciasihan, dan Ciasmara. Sementara 11 desa lainnya memperoleh alokasi rata-rata sekitar Rp827 juta per desa.
Masuknya dana miliaran rupiah ke kas desa dalam waktu relatif singkat menimbulkan kegelisahan di tengah masyarakat. Pasalnya, bonus produksi geothermal berada di luar skema Dana Desa maupun Alokasi Dana Desa (ADD), sehingga mekanisme pengawasan dinilai belum seketat dana-dana reguler yang selama ini dikenal publik.
Aturan Jelas, Informasi Minim
Secara regulasi, bonus produksi panas bumi wajib digunakan untuk kepentingan publik, seperti pembangunan infrastruktur desa, peningkatan layanan kesehatan dan pendidikan, serta penguatan ekonomi masyarakat. Namun, keterbukaan informasi terkait perencanaan dan realisasi penggunaan dana tersebut dinilai masih minim.
Sejumlah warga Pamijahan mengaku belum memperoleh penjelasan rinci mengenai program yang akan dibiayai dari dana bonus geothermal. Bahkan, di beberapa desa, papan informasi kegiatan belum mencantumkan rencana penggunaan dana yang bersumber dari produksi panas bumi tersebut.
“Nilainya sangat besar, tapi masyarakat belum benar-benar dilibatkan dalam pembahasan dan perencanaannya,” ungkap seorang tokoh masyarakat Pamijahan yang enggan disebutkan namanya.
Ancaman Salah Kelola Mengintai
Pengamat tata kelola pemerintahan desa mengingatkan, masuknya dana besar tanpa kesiapan sistem pengawasan yang matang berpotensi menimbulkan persoalan hukum di masa depan. Terlebih, bonus produksi geothermal belum memiliki pola pengawasan sepopuler Dana Desa yang sistem pelaporan dan auditnya sudah relatif mapan.
“Jika pengelolaannya tidak hati-hati dan transparan, dana ini bisa berubah menjadi bom waktu bagi aparatur desa,” ujar seorang pemerhati kebijakan publik di Bogor.
Desakan Keterbukaan Publik
Masyarakat pun mendorong pemerintah desa dan pemerintah daerah untuk:
Membuka informasi penggunaan dana secara rinci dan mudah diakses publik
Melibatkan warga dalam musyawarah perencanaan program
Memasang papan proyek yang mencantumkan sumber dana geothermal
Memastikan audit dan pengawasan dilakukan secara optimal
Sementara itu, pemerintah daerah menegaskan bahwa bonus produksi geothermal merupakan hak desa sesuai ketentuan yang berlaku. Namun, bagi publik, akuntabilitas dan keterbukaan menjadi tolok ukur utama apakah dana tersebut benar-benar membawa manfaat nyata atau justru meninggalkan persoalan baru.
Bonus produksi geothermal Gunung Salak kini tidak lagi sekadar soal pembagian dana miliaran rupiah, melainkan menjadi ujian integritas dan transparansi pengelolaan keuangan desa di Kabupaten Bogor. (Poy)
Ikuti saluran Kabaran Jabar Portal Informasi di WhatsApp:



0Komentar