Kualitas Pendidikan: pada Debat Capres, Kurangnya Terobosan Serius

Kualitas Pendidikan: pada Debat Capres, Kurangnya Terobosan Serius

Kabaran Jakarta, - Kurangnya terobosan serius dalam perbaikan kualitas pendidikan dan keadilan sistem pendidikan oleh ketiga calon presiden 2024.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji mengatakan bahwa isu-isu pendidikan menjadi sorotan dalam debat pamungkas calon presiden 2024, Minggu (4/2/2024) malam,

"Kritik terhadap kurangnya pemanfaatan isu-isu pendidikan dengan baik oleh para kandidat, di mana jawaban-jawaban dinilai biasa-biasa saja tanpa adanya terobosan baru," kata Ubaid, yang dikutip dari Kompasid, Senin (5/2/2024), di Jakarta.

Hal senada, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim mengenai gagasan pendidikan ketiga calon presiden yang dinilai masih bersifat gimik dan normatif.

"Penanganan masalah kualitas pendidikan Indonesia belum sepenuhnya terpenuhi. Pemerhatian tersebut dapat mempengaruhi penilaian publik terhadap komitmen calon presiden terkait perbaikan sektor pendidikan," katanya.

Ubaid menyinggung terkait anggaran pendidikan sebesar 20 persen yang dikaitkan dengan kesejahteraan dan kompetensi guru.

Analisis data pengelolaan anggaran pendidikan dapat memberikan gambaran konkret tentang alokasi dana dan bagaimana hal itu memengaruhi kesejahteraan dan kompetensi guru.

"Bahwa meskipun proporsi anggaran pendidikan mencapai 20 persen dari APBN, tetapi tidak membuat program pendidikan dasar dan menengah, termasuk Wajib Belajar 12 Tahun, menjadi prioritas, keprihatinan terhadap fokus penggunaan dana yang belum memadai. Dampaknya terlihat pada kualitas peserta didik yang bisa tertinggal dengan negara-negara tetangga," ujar Ubaid.

Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri, mengenai ketidakadaan peta jalan atau desain besar pendidikan nasional dari capres.

"Kami tidak perlu kebijakan yang seperti "Merdeka Belajar" dan cukup dengan peta jalan pendidikan nasional yang jelas akan kesederhanaan dan keterlibatan masyarakat dalam pengembangan sistem pendidikan," kata Iman.

Bahwa pembuatan peta jalan pendidikan nasional tidak hanya mengikuti tren global teknologi, tetapi juga mempertimbangkan tantangan yang dihadapi oleh guru, dosen, siswa, dan sistem data pendidikan nasional untuk merancang solusi yang praktis dan berkelanjutan.

Kritik terhadap ketidakadaan solusi konkret untuk menghentikan agenda liberalisasi di pendidikan tinggi, termasuk masalah uang kuliah tunggal (UKT) yang mahal, harapan akan kebijakan dan skema pembiayaan baru yang lebih jelas dan berpihak kepada kebutuhan mahasiswa.

Ubaid mengutip pernyataan Ganjar Pranowo terkait "Hentikan liberalisasi pendidikan". Sementara pernyataan Anis yang menekankan tanggung jawab negara dan orangtua dalam urusan pembiayaan, dengan fokus perguruan tinggi pada pendidikan dan urusan akademik, terhadap pembagian tanggung jawab dalam pembiayaan pendidikan tinggi.

"Ini tampaknya mengarah pada ketidaksesuaian antara ide-ide untuk menghentikan liberalisasi pendidikan dan tanggung jawab perguruan tinggi terhadap pendidikan dan urusan akademik, dengan status perguruan tinggi sebagai PTN Badan Hukum berdasarkan UU No 12 Tahun 2012," ujar Ubaid.

Ubaid menekankan bahwa jika kandidat menginginkan perubahan dalam sistem pendidikan yang dianggap sebagai liberalisasi, ide terobosan tersebut harus berani menghadapi perubahan status PTN Badan Hukum. Dia menyatakan bahwa status ini dianggap sebagai penyebab mahalnya biaya kuliah.

Selain itu, Ubaid mengingatkan bahwa masalah kesejahteraan dan kompetensi guru yang rendah berpotensi berlanjut ke depan, dan dia merasa bahwa jawaban dari para kandidat tidak menyajikan tawaran inovatif untuk mengatasi masalah tersebut.

"Anies akan mengangkat guru honorer, tetapi tanpa memberikan rincian sistem atau cara yang jelas. Pentingnya kandidat menyampaikan strategi yang terperinci dan rinci terkait kebijakan pendidikan yang mereka usung untuk mendapatkan dukungan dan kepercayaan masyarakat," kata Ubaid.

Ia mengatakan pada janji serupa yang telah diutarakan oleh pemerintahan sebelumnya, dari Susilo Bambang Yudhoyono hingga Jokowi, yang hingga kini belum memberikan solusi konkrit bagi nasib jutaan guru honorer, kekecewaan terhadap ketidakpastian dan lambatnya implementasi kebijakan pendidikan.

"Kekhawatiran terhadap rencana yang diusulkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk memasukkan guru honorer ke dalam marketplace. Pentingnya sebuah sistem yang tidak hanya menjamin kesejahteraan tetapi juga memberikan perlindungan yang memadai terhadap profesi guru," ujar Ubaid.

Dukungan dari calon presiden Prabowo terhadap ide untuk memasukkan guru honorer ke dalam marketplace, yang juga diikuti dengan penambahan isu kebocoran dana pendidikan, permasalahan yang perlu diatasi. Tentang kebocoran dana pendidikan perlunya transparansi dan pengawasan yang lebih ketat dalam pengelolaan anggaran pendidikan untuk memastikan efektivitas dan keberlanjutan sistem.

"Masalah korupsi dalam sektor pendidikan yang dianggap sebagai isu lama, disertai kekecewaan terhadap kurangnya tawaran solusi konkret, kebutuhan akan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pendidikan yang ada. Perlu adanya analisis mendalam dan strategi yang jelas untuk memastikan keberlanjutan dan integritas sektor pendidikan," ujar Ubadi.

Sementara Ganjar menyampaikan terutama terkait kesejahteraan guru yang hanya menekankan peningkatan gaji dan solusi peningkatan mutu dengan pemanfaatan teknologi, menunjukkan keinginan akan ide-ide yang lebih inovatif dan rinci.

Kritik terhadap solusi yang disampaikan oleh Ganjar, Pernyataan tersebut menggambarkan pandangan bahwa solusi yang ditawarkan belum mencakup langkah-langkah konkrit dan strategis untuk mengatasi tantangan kompleks dalam sektor pendidikan.

"Keluhan terhadap beban tugas guru terkait kewajiban untuk update aplikasi dan kegagalan pelatihan melalui aplikasi dalam meningkatkan mutu guru ketidakpuasan terhadap pendekatan yang diambil dalam pengembangan dan pelatihan. Pentingnya evaluasi terhadap efektivitas program pelatihan dan penggunaan teknologi dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Perlu pendekatan yang lebih bijaksana dan strategis untuk memastikan bahwa tugas guru dan pelatihan yang diimplementasikan memberikan manfaat yang nyata bagi peningkatan mutu pendidikan," ujar Ubadi.

Sementara Satriwan menyayangkan, ketidakmampuan para calon presiden untuk menunjukkan komitmen dalam mengangkat guru PNS, harapan akan dukungan yang lebih kuat terhadap kesejahteraan dan penghargaan terhadap profesi guru yang dipegang oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS).

"Rencana untuk mengangkat guru honorer menjadi P3K sebagai solusi utama adalah langkah yang disayangkan, dan seharusnya solusi untuk kekurangan guru adalah dengan membuka rekrutmen guru PNS, keberlanjutan dan stabilitas dalam pengembangan sumber daya manusia pendidikan," ungkap Satriwan.

Satriwan menegaskan, usulan dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) untuk menerapkan upah minimum bagi guru non-ASN untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Pengajuan usul ini pentingnya memberikan perlindungan dan pengakuan yang layak terhadap profesi guru yang tidak termasuk ASN. Implementasi upah minimum dapat menjadi langkah positif dalam memastikan hak-hak dan kesejahteraan guru di sektor pendidikan.

"Bahwa usulan menerapkan upah minimum untuk guru non-ASN lebih realistis dan langsung dirasakan oleh para guru yang belum sejahtera. Bahwa kebijakan ini dapat memberikan dampak nyata pada peningkatan kesejahteraan mereka yang konkrit dan dapat memberikan manfaat langsung kepada mereka yang berada di lapangan," tutur Satriwan. *

Editor: Mas Bons

Posting Komentar untuk "Kualitas Pendidikan: pada Debat Capres, Kurangnya Terobosan Serius"

https://jabar.kabaran.id/?m=1
https://jabar.kabaran.id/?m=1