Gelora Punya Semangat Narasi, Kenapa Menolak Kolaborasi

Gelora Punya Semangat Narasi, Kenapa Menolak Kolaborasi
Dinamika politik pasca-Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 menimbulkan tantangan baru bagi partai politik dalam membangun kolaborasi yang kokoh dan bertanggung jawab.


Gelora Punya Semangat Narasi, Kenapa Menolak Kolaborasi

Kabaran Jabar, - Dinamika politik pasca-Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 menimbulkan tantangan baru bagi partai politik dalam membangun kolaborasi yang kokoh dan bertanggung jawab. 

Yang menarik adalah sikap Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia dalam menanggapi keputusan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang diduga menyatakan minat secara terselubung untuk bergabung ke dalam koalisi pemerintahan yang terpilih dengan menyampaikan akan memberikan karpet merah jika Prabowo Subianto datang ke acara mereka.

"Jika sekarang PKS mau merapat karena alasan proses politik sudah selesai, apa segampang itu PKS bermain narasi ideologisnya? Apa kata pendukung fanatiknya? Sepertinya ada pembelahan sikap antara elite PKS dan massa pendukungnya," kata Mahfuz Sidik Sekjend Gelora dalam keterangannya, Sabtu (27/4/2024).

Sebelumnya, Gelora dikenal sebagai partai politik yang mengusung semangat kolaborasi antarpartai politik dalam upaya memajukan bangsa dan negara. Dalam beberapa kesempatan, Gelora menekankan pentingnya kerjasama politik yang inklusif dan berdasarkan pada kepentingan nasional yang lebih besar. 

Partai Gelora sebelumnya menilai benturan ideologi politik antara Islam dan nasionalis, seperti Islam melawan komunis, dan Islam melawan sosialis yang sudah ada sejak era Presiden RI Soekarno, masih terjadi hingga kini. Benturan ideologi politik tersebut, semakin tajam menjelang Pemilu 2024. 

"Seharusnya, benturan ideologi ini tidak harus terjadi. Karena sejatinya Islam dan nasionalis bukanlah sesuatu yang perlu dibenturkan. Seharusnya saling menguatkan," kata Tengku Zulkifli Usman, Juru Bicara (Jubir) Nasional Pemenangan Pemilu Partai Gelora dalam keterangannya, Selasa (28/3/2023).

Menurut dia, masalah Islam dan nasionalis sudah selesai, ketika Indonesia ditakdirkan menjadi negara muslim terbesar di dunia. Seharusnya Islam dan nasionalis harus jalan berdampingan secara elegan.

Partai Gelora, partai nomor 7 di Pemilu 2024 ini berpandangan ada upaya terus menerus yang dilakukan kelompok tertentu untuk membenturkan Islam dengan nasionalis pasca reformasi.

Meskipun Gelora awalnya menganut narasi kolaborasi politik, namun sikap penolakan terhadap PKS menimbulkan tanda tanya di kalangan masyarakat.

Sikap yang ditunjukkan Gelora terhadap PKS menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara retorika dan tindakan yang dilakukan.

Sikap penolakan terhadap PKS yang disinyalir ingin bergabung dengan pemerintahan Prabowo Subianto oleh Gelora menciptakan kebingungan di kalangan masyarakat, terutama mengingat sebelumnya Gelora menyuarakan semangat kolaborasi politik yang inklusif terutama bersatunya partai nasionalis dan islamis.

Beberapa pihak menyebut bahwa alasan yang diberikan oleh Gelora untuk menolak PKS terkesan tidak konsisten dan bahkan aneh dan mengada-ngada.

Seperti yang disampaikan Bang Enyoi salah seorang pemerhati politik, alasan Gelora untuk menolak PKS terkait dengan keputusan PKS yang mencari peluang untuk mendukung pemerintahan yang terpilih, dianggap sebagai bentuk oportunisme politik.

“Hal ini sungguh aneh, Partai Gelora kan yang ingin terjadi kolaborasi dan persatuan disesama elite dan rakyat sampai mendengung-dengungkan semangat kolaborasi, kok ada Partai Islam yang ingin bergabung dan menyolidkan barisan keumatan dan kebangsaan malah dicap dengan tuduhan macam-macam. Pemilu kan sudah usai, ayolah serius membenahi bangsa Bersama-sama. Jangan menimbulkan pertanyaan terkait konsistensi ideologis Gelora, apakah Gelora juga terjebak dalam politik praktis semata. Apakah ada kekhawatiran tertentu jika PKS bergabung dengan Prabowo Subianto," ungkap Bang Enyoi.

Namun demikian, ada pula yang mempertanyakan apakah penolakan Gelora terhadap PKS sebenarnya merupakan bentuk ketidakkonsistenan dalam menerapkan prinsip-prinsip kolaborasi politik yang dipegangnya. Beberapa pihak menyebut bahwa penolakan terhadap PKS seharusnya dipertimbangkan dengan lebih cermat, terutama dalam konteks upaya membangun kesepahaman politik yang lebih luas dan inklusif.

Pada titik ini, Gelora dihadapkan pada tantangan untuk menjelaskan sikapnya secara transparan dan meyakinkan masyarakat mengenai alasan di balik penolakan terhadap PKS.

Transparansi dan komunikasi yang jelas menjadi kunci dalam mempertahankan kredibilitas dan integritas politik Gelora di tengah publik.

Dalam situasi politik yang semakin kompleks, partai politik perlu memperhatikan konsekuensi politik jangka panjang dari setiap tindakan yang mereka ambil.

Sikap yang konsisten dan prinsip yang teguh dalam menjalankan politik menjadi modal utama dalam membangun kepercayaan dan dukungan Masyarakat kedepannya.

Dalam menghadapi tantangan ini, Gelora diharapkan untuk mempertimbangkan kembali sikapnya terhadap PKS dengan memperhatikan prinsip-prinsip kolaborasi politik yang telah mereka anut sebelumnya. 

Kemampuan untuk mengakomodasi perbedaan dan menjalin kesepahaman politik yang kokoh akan menjadi kunci dalam menjaga stabilitas politik dan memajukan agenda nasional yang lebih besar. Alih-alih memikirkan jumlah Menteri yang akan didapat nanti. *

Editor: Mas Bons

Posting Komentar untuk "Gelora Punya Semangat Narasi, Kenapa Menolak Kolaborasi"

https://jabar.kabaran.id/?m=1
https://jabar.kabaran.id/?m=1