![]() |
Satia Zen Direktur Pendidikan Yayasan Sukma (Dok. Pribadi) |
Kabaran Jabar, - Belakangan ini, dunia pendidikan diguncang oleh polemik pemecatan seorang guru yang juga berprofesi sebagai musisi punk. Kasus ini menyoroti batasan antara identitas profesional dan kebebasan berekspresi. Guru tersebut menyembunyikan identitasnya saat bermusik untuk menjaga keseimbangan peran, tetapi tetap berujung pada pemecatan—bukan karena lirik lagunya, melainkan karena dianggap melanggar kode etik berpakaian.
Fenomena ini mengundang pertanyaan lebih besar: Sejauh mana profesi mendikte kehidupan pribadi? Apakah seorang guru harus selalu menyesuaikan diri dengan narasi dominan tentang figur pendidik yang “ideal”? Jika punk adalah simbol perlawanan terhadap budaya dominan, mungkinkah punk justru menjadi alat refleksi bagi dunia pendidikan?
Punk sebagai Perlawanan dan Pedagogi Alternatif
Dunn (2017) menjelaskan bahwa punk bukan sekadar genre musik, melainkan praktik sosial yang menolak status quo dan menerapkan etos do-it-yourself. Dalam konteks pendidikan, Vass (2023) menyoroti bagaimana punk dapat menjadi pendekatan kritis terhadap sistem yang mereproduksi ketimpangan.
Di Indonesia, guru bisa mengadopsi semangat punk dengan menuntut sistem rekrutmen yang adil, distribusi tenaga pendidik yang merata, serta kurikulum yang lebih inklusif. Dengan nilai dasar punk—perlawanan, kesadaran politik, dan solidaritas komunitas—guru dapat mengambil peran aktif dalam mengkritisi dan memperbaiki sistem yang ada.
Punk Pedagogi: Mendidik dengan Keberanian dan Kesadaran
Pendekatan punk pedagogi menawarkan cara mendidik yang lebih reflektif dan kritis. Smith dkk. (2017) menekankan bahwa punk dan pendidikan memiliki kesamaan dalam sifatnya yang dinamis serta responsif terhadap perubahan sosial. Kahn-Egan (1998) bahkan menegaskan bahwa pendidikan harus mendorong siswa untuk mempertanyakan otoritas dan membangun pemikiran kritis.
Dengan pendekatan ini, guru tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga penggerak perubahan. Mereka tidak harus tunduk pada narasi lama yang membelenggu, tetapi bisa hadir secara otentik di kelas—menginspirasi siswa untuk berpikir kritis dan berani mempertanyakan ketidakadilan.
Pada akhirnya, pendidikan yang ideal bukanlah yang memaksa individu untuk bersembunyi di balik topeng, tetapi yang memberi ruang bagi setiap identitas untuk diterima sepenuh hati.
(Ayo ikuti saluran WhatsApp Kabaran Jabar Portal Informasi biar enggak ketinggalan update)
Pewarta: Mas Bons
Editor: Warsono
0Komentar