Kabaran Jabar, - Ada yang mengganjal di ruang paripurna Gedung DPRD Jawa Barat, Kamis (22/5/2025). Bukan soal keputusan politik besar atau kebijakan kontroversial.
Melainkan keheningan. Keengganan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dan Ketua DPRD Jabar, Bucky Wikagoe, menjawab pertanyaan sederhana: bagaimana masa depan pers lokal di mata penguasa?
Pertanyaan itu terlontar usai rapat paripurna. Namun, KDM sapaan akrab Dedi lebih memilih merespons isu-isu ringan ketimbang menyentuh soal substansi keberlangsungan media lokal. Sementara Bucky, setelah mengantar sang gubernur ke mobil dinas, mengunci mulut dan menghilang dengan dalih “ada rapat lagi.”
Keduanya bungkam. Dan kebungkaman dari mereka yang punya kuasa sering kali lebih nyaring dari ribuan kata.
Padahal, ekosistem pers bukan sekadar soal iklan dan oplah. Ini tentang oksigen bagi demokrasi. Media adalah mata dan telinga rakyat yang kini mulai tuli dan rabun akibat kekeringan dukungan.
Lihat saja datanya. Anggaran publikasi Pemprov Jabar yang dulu mencapai Rp 50 miliar, kini menyusut jadi Rp 3,1 miliar. Sebuah penurunan drastis yang terasa seperti pesan sunyi: bertahanlah sendiri, atau gugur perlahan.
“Ini bukan semata soal efisiensi anggaran,” tegas Deni, wartawan senior. “Ini soal apakah negara masih peduli pada pilar keempat demokrasi.”
Ia mengungkapkan, alokasi anggaran publikasi saat ini bahkan kurang dari satu persepuluh ribu dari total APBD Jabar.
“Begitu murahkah harga pers di mata pemerintah?” tanyanya getir.
Syahadat Akbar, jurnalis lain, menyoroti strategi komunikasi Gubernur yang lebih sibuk membangun citra pribadi lewat media sosial daripada memperkuat kolaborasi dengan media massa.
“Jangan-jangan memang disengaja. Dibunuh perlahan lewat pengabaian,” ujarnya.
Syafril Sjofyan, aktivis era 77 sekaligus pengamat kebijakan publik, mengingatkan: negara yang bijak tak hanya membangun jalan tol dan jembatan, tapi juga menjaga arus informasi tetap jernih dan bebas.
“Media adalah infrastruktur demokrasi,” katanya.
Karena jika pers mati, yang hilang bukan hanya berita tapi suara rakyat.
Kini, saat suara dari kursi kekuasaan hanya menyisakan diam, masyarakat harus bertanya: siapa yang masih peduli ketika pers perlahan dibungkam?
Demokrasi bukanlah bangunan beton. Ia adalah suara, wacana, dan ruang berpikir bersama. Dan tanpa pers yang kuat, fondasi itu akan runtuh tanpa suara, tanpa berita, tanpa arah. *
Ikuti saluran Kabaran Jabar Portal Informasi di WhatsApp:
0Komentar