Menjaga Keamanan Perempuan di Skena Musik. Perlunya ruang aman masih sangat minim di beberapa kalangan.
Kabaran Jabar, - Isu yang sangat penting dan relevan, terutama dengan meningkatnya perhatian terhadap keselamatan perempuan di acara musik.
Fenomena seperti yang terjadi dengan Pamungkas mencerminkan betapa kesadaran terhadap perlunya ruang aman masih sangat minim di beberapa kalangan.
Bahkan, meski beberapa musisi atau band mencoba untuk memitigasi pelecehan dengan aturan tertentu, kenyataannya, pelanggaran terhadap perempuan masih sering terjadi di ruang-ruang publik seperti konser musik.
Sebagai tambahan, pembentukan ruang aman yang tidak hanya terletak pada pembuatan aturan, tetapi juga pada penerapan yang konsisten dan penegakan hukum yang tegas.
Konser musik, yang seharusnya menjadi tempat bagi semua orang untuk menikmati hiburan, seringkali malah menjadi tempat yang rawan kekerasan seksual dan pelecehan, terutama bagi perempuan.
Oleh karena itu, selain aturan, diperlukan pelatihan kepada staf keamanan, adanya mekanisme pelaporan yang mudah diakses, serta edukasi bagi para penggemar agar lebih peka terhadap batasan-batasan personal dan tidak toleran terhadap tindakan pelecehan.
Dengan terus berkembangnya diskusi tentang ruang aman, langkah-langkah konkret untuk menjadikannya kenyataan semakin penting.
Perempuan perlu merasa nyaman dan dihormati, tanpa takut akan pelecehan atau kekerasan dalam setiap acara musik yang mereka hadiri.
Bagaimana gerakan feminisme dalam dunia musik, khususnya dalam skena punk, mulai terbentuk dan berkembang.
Dimulai dari ketidakadilan yang dialami Kathleen Hanna di Olympia pada tahun 1986, hingga lahirnya gerakan Riot Grrrl yang menjadi batu loncatan bagi penciptaan ruang aman bagi perempuan di acara musik.
Lewat zine, band, dan manifestasi langsung, seperti yang dilakukan Bikini Kill dan Bratmobile, mereka merespons seksisme yang berkembang dalam subkultur punk, menjadikan ruang musik sebagai tempat yang lebih inklusif dan aman.
Apa yang menarik dari perjalanan ini adalah bagaimana gerakan tersebut tidak hanya berhenti pada penolakan terhadap seksisme, tetapi juga menciptakan sistem untuk melawan kekerasan dan pelecehan seksual di ruang-ruang publik, termasuk konser musik.
Sejak era Riot Grrrl, manifestasi ruang aman untuk perempuan berkembang pesat, terlihat dengan adanya Safe Gigs for Women di Inggris hingga diskusi yang digelar di Indonesia, seperti oleh Woman Ngalam.
Namun, meskipun banyak gerakan yang sudah ada, permasalahan ini tetap relevan. Kesadaran kolektif tentang bagaimana setiap individu bisa berkontribusi dalam menjaga ruang aman sangat diperlukan, terutama dalam konteks konser atau acara musik yang melibatkan banyak orang.
Pemahaman akan batasan, tindakan cepat saat terjadi pelecehan, serta mendukung sesama untuk merasa aman, menjadi hal yang sangat penting dalam menciptakan perubahan nyata di lapangan.
Meskipun sudah ada langkah-langkah yang konkret, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.
Gerakan ini membutuhkan partisipasi dari semua pihak—musisi, penonton, dan masyarakat umum—untuk menjadikan ruang musik, dan ruang publik pada umumnya, lebih aman untuk semua, terutama perempuan.
(Ayo ikuti saluran WhatsApp Kabaran Jabar Portal Informasi biar enggak ketinggalan update)
Pewarta: Mas Bons
Editor: Warsono
Oleh: Widya A. Putri dari Pop Berandalan (Magdalene)
Posting Komentar untuk "Menjaga Keamanan Perempuan di Skena Musik"