Kabaran Jabar, - Dunia maya kini tak lagi sekadar ruang hiburan. Bagi sebagian anak dan remaja, ia menjadi tempat pelarian yang justru memicu krisis. Fenomena brain rot—istilah populer untuk kemunduran kemampuan berpikir akibat paparan konten dangkal—kian meresahkan para ahli psikologi.
Yukie Agustia Kusmala, Psikolog Klinis P2TP2A Kota Cimahi, menyebut generasi muda hari ini makin sulit menghadapi realitas karena terbiasa hidup di dunia serba instan dan visual.
"Konten singkat di media sosial bikin anak-anak kehilangan daya tahan berpikir panjang. Mereka kesulitan menganalisis, berdiskusi serius, atau menghadapi tekanan emosional," ungkap Yukie saat diwawancarai, Selasa (6/5).
Meski data kekerasan anak di Cimahi menurun dalam dua tahun terakhir—dari 63 kasus di 2023 menjadi 27 kasus per April 2025—Yukie menegaskan bahwa angka tak selalu mencerminkan kedalaman krisis mental yang dialami anak.
Interaksi sosial yang seharusnya terbangun di dunia nyata kini bergeser ke layar ponsel. Anak-anak menjalin pertemanan virtual, namun menjadi canggung saat harus bicara langsung dengan guru, teman sekolah, bahkan keluarga.
"Di dunia nyata, dibutuhkan kemampuan mendengar, empati, hingga menyelesaikan konflik. Sayangnya, mereka justru gagal membangun keterampilan ini karena terlalu nyaman di dunia digital," jelasnya.
Menurut Yukie, brain rot bukan muncul tiba-tiba. Ia sering kali berakar dari konflik internal dan eksternal yang tak terselesaikan, lalu diperparah oleh paparan konten instan yang miskin makna.
"Generasi sekarang digital native, tapi secara emosional dan kognitif banyak yang belum siap menghadapi tantangan nyata," tegas Yukie.
Tanpa intervensi dan pendampingan yang tepat, generasi ini bisa tumbuh dalam bayang-bayang krisis identitas yang makin dalam—terbiasa bermain peran dalam dunia digital, tapi gamang saat menghadapi hidup yang sesungguhnya. (Bons)
Ikuti saluran Kabaran Jabar Portal Informasi di WhatsApp:
0Komentar